Stop Kekerasan‼️‼️

KEKERASAN FISIK
Kekerasan fisik adalah suatu kekerasan yang terjadi secara nyata atau dapat dilihat dan dirasakan oleh tubuh secara langsung. Kekerasan fisik ini seringkali meninggalkan bekas luka bagi penerima kekerasan atau korban tindak kekerasan, sehingga ketika ingin melaporkan tindak kekerasan ini akan divisum terlebih dahulu. Seperti wujud dari kekerasan fisik, seperti pemukulan, pembacokan, bahkan hingga menghilangkan nyawa seseorang. Kekerasan fisik ini bisa juga disebut dengan kekerasan langsung karena bisa langsung menyebabkan luka pada korbannya. Kekerasan fisik ini tidak hanya terjadi di lingkungan luar rumah saja, tetapi bisa juga terjadi di lingkungan keluarga, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Ciri-Ciri Korban Kekerasan
• Adanya perubahan perilaku
• Menjadi lebih diam
• Cepat murung dan cemas
• Menutup diri
• Takut Bertemu dengan Orang Lain atau Pelaku Kekerasan.

Dampak Kekerasan
• Bisa menyebabkan seseorang mengalami trauma yang sulit dihilangkan.
• Takut berhadapan dengan pelaku kekerasan atau bahkan orang lain.
• Bisa merusak kondisi kejiwaan atau depresi.
• Bisa meninggalkan bekas luka fisik yang sulit dihilangkan.
• Membuat emosi menjadi tidak stabil.

Fakta ini bersumber dari Gramedia.com

14.000+ Kasus Kekerasan di 2025, Sudahkah Perempuan Indonesia Merdeka?
Perempuan Indonesia mungkin sudah cukup merdeka dengan berdaya. Hadir di ruang publik, menjadi pemimpin perusahaan, duduk di kursi parlemen, hingga menjadi pencetak sejarah di bidang-bidang yang dulunya didominasi laki-laki. Namun, di balik kemajuan itu, ketika perayaan hari kemerdekaan sudah di depan mata, pertanyaan menggantung di udara: 

Sudahkah perempuan benar-benar merdeka dari kekerasan?

Jika kita menilik data terbaru yang tersaji real-time pada situs Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) yang diprakarsai oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), jawabannya belum. Hingga awal Agustus 2025, ketika artikel ini ditulis, tercatat 17.355 kasus kekerasan di Indonesia, dengan 14.919 (80.6%) korbannya adalah perempuan.

Lebih lanjut, data SIMFONI-PPA menunjukkan sebanyak 33.7%, mayoritas korban perempuan berusia 13-17 tahun, diikuti dengan 26.1% berusia 25-44 tahun. Ini berarti usia korban termasuk kategori usia produktif; remaja hingga dewasa muda. Sementara berdasarkan tempat kejadian kekerasan, “Rumah Tangga” menempati peringkat teratas sebanyak 60.1%. Data ini sejalan dengan temuan Komnas Perempuan yang menunjukkan sepanjang tahun 2023, ranah personal/domestik mendominasi kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 284.741(98.5%) dari 3.303 kasus.

Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan realitas yang masih mengungkung perempuan Indonesia, bahwa tubuh perempuan belum sepenuhnya aman, bahkan dalam lingkungan terdekat mereka sendiri.

Sejauh Mana Negara Memerdekakan Perempuan dari Kekerasan?

Meski Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) No. 12 Tahun 2020 telah disahkan, perempuan Indonesia masih terus dihantui penjajahan yang dinamakan kekerasan. Idealnya, UU TPKS menjamin 4 hak korban kekerasan seksual: hak atas perlindungan hukum, hak atas pendampingan psikologis dan hukum, hak atas pemulihan ekonomi, dan hak atas keadilan dalam proses hukum.

Sebagaimana diberitakan oleh Metro TV News dalam artikel berjudul “Masih Ada 3 Aturan Turunan UU TPKS Belum Rampung, Ini Penjelasan Pemerintah” yang terbit pada 14 April 2025, hingga kini, baru 4 dari 7 peraturan pelaksana UU TPKS yang sudah ditetapkan pemerintah. Masih tersisa 3 aturan yang belum disahkan, yakni Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Dana Bantuan Korban TPKS; RPP Pencegahan, Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RPP 4PTPKS); dan Rancangan Perpres (RPerpres) Kebijakan Nasional Pemberantasan TPKS.

Namun, efektivitas hukum sejatinya tidak hanya diukur dari keberadaannya, melainkan dari implementasinya. Dari berbagai kemajuan yang bisa kita patut apresiasi dan upaya-upaya pemerintah yang masih terus berlanjut, perempuan korban kekerasan masih dihadapkan dengan berbagai tantangan, utamanya datang dari Aparat Penegak Hukum (APH) itu sendiri yang belum sensitif gender sehingga korban tidak jarang harus menghadapi pertanyaan menyudutkan bernada seksis dan misoginis. 

Siti Mazumah, koordinator Forum Pengada Layanan (FPL), dalam artikel berjudul “Mengapa proses hukum menjadi problematis bagi korban dugaan KS?” yang dimuat BBC mengatakan, “aparat hukum seringkali meminta korban membuktikan sendiri kejadian yang menimpanya, padahal seharusnya penyidikan bisa dilakukan dari temuan masyarakat tanpa membenahi korban.” 

Menghadapi hal ini, pada tahun 2023, Komnas Perempuan bersama LBH Apik Jakarta dan Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera menciptakan suatu inisiasi kolaboratif bernama Akademi Penghapusan Kekerasan Seksual (APKS) dengan target pelibatan tenaga layanan, pendamping korban, masyarakat umum, termasuk aparat penegak hukum. Hingga 2025, serangkaian kegiatan APKS telah dilakukan di berbagai wilayah Indonesia, juga menghasilkan Modul Akademis APKS sebagai panduan penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual berperspektif HAM.

Negara bisa saja terus menggulirkan berbagai regulasi, tapi semua itu tidak akan berarti jika aparatur enggan belajar dan memahami akar persoalan kekerasan berbasis gender. Keberpihakan akan selalu diwarnai relasi kuasa ketika perspektif gender belum menjadi kesadaran dasar dalam penanganan kasus. 

Stigma Perempuan Korban Kekerasan: Penjajahan Oleh Bangsa Sendiri

Budaya patriarki membuat perempuan korban kekerasan tidak cukup mengalami trauma fisik dan emosional dari kekerasan yang mereka alami. Trauma berkelanjutan datang dari stigma sosial yang menganggap perempuan sebagai pihak yang pantas disalahkan. 

Dalam artikel Metro TV News berjudul “Komnas Perempuan: Stigma di Masyarakat Menyumbang Tingginya Kekerasan Seksual” pada 12 September 2024, Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, menyatakan bahwa masyarakat masih menganggap kekerasan terhadap perempuan sebagai hal wajar. Perempuan kerap disalahkan atas busana dan perilaku, seperti keluar malam hari, yang memunculkan pandangan bahwa korban adalah individu yang ‘nakal’ sehingga pantas saja mengalami kekerasan seksual. 

Padahal, telah kita baca di atas pada data real-time SIMFONI-PPA 2025, juga temuan Komnas Perempuan 2023, lokasi kekerasan paling banyak terjadi di rumah; pada ranah personal. Ini artinya kekerasan kerap kali terjadi dalam lingkungan yang justru sangat dikenal korban, dengan pelakunya orang-orang terdekat korban.

Stigma sosial adalah bagian dari sistem patriarki yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan meredam keberanian mereka bersuara. Selama masyarakat menolak memahami konsep kekerasan terhadap perempuan dan masih percaya pada mitos-mitos yang mendiskriminasi ketubuhan perempuan, maka korban akan sulit mendapat keadilan.

Angka kekerasan terhadap perempuan yang ditampilkan SIMFONI-PPA sepanjang tahun 2025 bukan sekadar statistik tahunan. Ada tubuh-tubuh yang tidak aman, wajah-wajah yang terluka, dan suara-suara yang tercekat; dibungkam atau terpaksa membungkam kisahnya sendiri. 

Setiap tahun, perayaan kemerdekaan akan terus berlangsung, tapi data ini menggugat kita semua: bagaimana bisa kita merayakan kebebasan, sementara banyak perempuan masih terpenjara oleh ketakutan dan ketidakadilan? Merdeka semestinya dirasakan utuh bagi semua warga negara, tidak terkecuali perempuan korban kekerasan: bebas dari ancaman, stigma, dan sistem yang menormalisasi alih-alih melindungi.

Perjuangan belum selesai selama satu saja perempuan Indonesia belum merasa aman di negara yang sudah 80 tahun bebas dari penjajahan bangsa asing, tapi masih setia menjadi budak dari penjajahan bernama kekerasan.


Halo semuanyaa 👋👋👋, saya Gung Danes disini saya akan menceritakan tentang kasus kekerasan terhadap karyawan Alfamart yang sangat tragis dan baru-baru ini viral adalah kasus pembunuhan dan penipuan karyawati Alfamart oleh atasannya sendiri di area Purwakarta/Karawang.

KASUS
Kasus Tragis Pembunuhan Karyawati Alfamart oleh Atasan Sendiri
​Identitas Korban dan Pelaku:
​Korban: Dina Oktaviani (21 tahun), seorang karyawati Alfamart di Rest Area KM 72A Tol Cipularang, Purwakarta.
​Pelaku: Heryanto (27 tahun), korban atasannya (Kepala Toko) di tempat kerja yang sama, yang juga merupakan rekan kerja dan teman curhat korban.

Kronologi
​Awal Kejadian (5 Oktober 2025) Pelaku, Heryanto, mengajak korban untuk bertemu di rumahnya di Purwakarta. Korban hilang dilaporkan sejak tanggal tersebut.Setibanya di rumah, pelaku mencekik dan membekap korban hingga terbunuh.Di samping membunuh, pelaku juga melakukan tindak asusila (pemerkosaan) terhadap korban dan merampas harta benda milik korban seperti perhiasan dan handphone.Pelaku lalu membungkus jenazah korban dengan kardus dan membuangnya ke Sungai Citarum, Kabupaten Karawang dengan bantuan dua orang temannya (yang mengaku tidak tahu isi kardus tersebut).Penemuan Jasad pada tanggal 7 Oktober 2025.Jasad korban ditemukan terapung di Sungai Citarum oleh masyarakat. Identitas korban belum diketahui pada awalnya.Pelaku ditangkap pada tanggal 8 Oktober 2025. Polisi berhasil menangkap Heryanto di tempat kerja (Alfamart Rest Area KM 72A) hanya sehari setelah jasad ditemukan, saat pelaku masih mengenakan seragam kerja.

​Motif utama pelaku adalah terdesak kebutuhan finansial dan berniat menguasai harta benda (perhiasan dan telepon seluler) milik korban.
​Pertemanan dan curhat korban dengan pelaku juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pelaku kejahatan.
​Pelaku dijerat pasal berlapis, yaitu pembunuhan dan perencanaan berencana, yang menggambarkan adanya tingkat kekejaman dan perencanaan dalam aksinya.

PENDAPAT SAYA
Kasus ini adalah tragedi kemanusiaan yang menyentuh inti martabat dan hak asasi setiap individu untuk hidup dan bekerja dengan aman. Kejadian ini bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan hilangnya nyawa seorang manusia muda yang tengah berjuang, dirampas secara brutal oleh orang yang seharusnya menjadi pelindung dan panutan.

Kita harap proses hukum berjalan adil, tidak hanya untuk menghukum pelaku seberat-beratnya, tetapi juga untuk memberikan pemulihan martabat bagi korban dan keluarganya. Keadilan harus menjadi penegasan bahwa setiap nyawa memiliki nilai yang tak terhingga dan bahwa kekejaman tidak akan pernah mendapat tempat di tengah masyarakat beradab.
​Intinya tragedi ini bukan hanya tentang hukum, tetapi tentang pengingat bahwa kita semua bertanggung jawab untuk menjaga kemanusiaan, terutama bagi mereka yang rentan, dan memastikan setiap orang dapat mencari nafkah tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan.

STOP MELAKUKAN KEKERASAN BAIK FISIK MAUPUN PSIKIS 

Postingan populer dari blog ini

Tentang Danes

Pengalaman Berjalan-Jalan Bersama Trio Kwek-Kwek